Jakarta (primedailydigest.com) – Meningkatkan pendapatan negara melalui penerimaan pajak menjadi salah satu tantangan utama Pemerintah. Banyak faktor yang dapat menghambat penyerapan pajak, padahal targetnya terus meningkat setiap tahunnya. Menghasilkan strategi penyerapan pajak yang efisien merupakan pekerjaan rumah bagi Kementerian Keuangan.Tahun ini, penerimaan pajak mengalami dinamika yang cukup kompleks. Per 31 Oktober 2024, penerimaan pajak tercatat sebesar Rp1.517,5 triliun atau sekitar 76,3 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipatok sebesar Rp1.988,88 triliun. Meski mendekati target, angka tersebut masih mengalami kontraksi sebesar 0,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, saat penerimaan pajak mencapai Rp 1.523,9 triliun.
Penurunan harga minyak sawit dan batu bara menjadi salah satu penyebab utama melambatnya pertumbuhan pajak, mengingat kedua komoditas tersebut merupakan sumber penerimaan pajak yang cukup besar. Tekanan terhadap kedua komoditas tersebut cukup membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui di hadapan Komisi XI DPR RI bahwa tahun 2024 akan menjadi tahun yang berat bagi penerimaan pajak.
Meski demikian, harapan terhadap kinerja perpajakan tahun ini masih ada. Meski mengalami kontraksi, terdapat tanda-tanda perbaikan pada beberapa komponen perpajakan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) menunjukkan pertumbuhan sebesar 7,87 persen. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga tumbuh 12,81 persen meski Pajak Penghasilan (PPh) sektor migas masih terkontraksi akibat penurunan produksi minyak bumi.
Melihat kinerja perpajakan yang melambat pada tahun ini, urgensi reformasi menjadi semakin besar. Sebab, target pendapatan tahun depan melebihi target tahun ini yang mencapai Rp 2.189,3 triliun. Ada selisih sekitar Rp 200 triliun dengan target APBN 2024. Mengingat realisasi penerimaan pajak tahun ini lebih lambat sekitar Rp6 triliun dibandingkan tahun lalu, maka mengejar Rp200 triliun merupakan sebuah tantangan.
Coretax sebagai reformasi perpajakan
Pemerintah sebenarnya telah menyiapkan berbagai langkah reformasi untuk meningkatkan pendapatan negara. Salah satu yang utama adalah Core Tax Administration System (CTAS) atau Coretax.
Coretax merupakan sistem inti administrasi perpajakan yang disiapkan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi dan akuntabilitas dalam administrasi perpajakan. Sistem ini akan mengotomatiskan layanan administrasi perpajakan dan menyediakan analisis data berbasis risiko untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Berdasarkan perhitungan Sri Mulyani, efisiensi yang ditawarkan Coretax mampu meningkatkan tax rasio menjadi 1,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Dengan posisi tax rasio saat ini sebesar 10,02 persen, Indonesia bisa mencapai tax rasio sebesar 11,5 persen dengan sistem inti tersebut.