JAKARTA (primedailydigest.com) – Indeks Bursa Efek Indonesia (IHSG) (IDX) pada hari Selasa diperkirakan bergerak untuk memperkuat di tengah -tengah peserta pasar yang menunggu dan melihat data investasi langsung asing (FDI) atau Investasi Asing (PMA) kuartal I -2025.
JCI membuka 26,02 poin atau 0,39 persen menjadi 6.748,99. Sedangkan 45 saham terkemuka atau indeks LQ45 naik 3,17 poin atau 0,42 persen menjadi 756,89.
“IHSG memiliki kesempatan untuk mencoba menutup celah pada 6.770 menjadi 6.870 minggu ini,” kata analis riset ekuitas senior Phintaco Sekuritas Valdy Kurniawan di Jakarta, Selasa.
Dari dalam negara itu, Valdy mengatakan menarik untuk memeriksa realisasi PMA Indonesia, yang masih dapat bertahan hidup di tingkat dua digit di tengah masalah Kebijakan Tarif Impor Amerika Serikat (AS) yang mulai beresonansi pada kuartal pertama tahun 2025.
Masalah tarif AS adalah bersamaan dengan sejumlah kebijakan domestik yang dianggap telah memicu sikap menunggu dan melihat sikap pasar pasar.
Data terbaru pada kuartal IV-2024, PMA Indonesia tumbuh sebesar 33,3 persen tahun ke tahun (YOY) menjadi RP245,8 triliun, atau mewakili 54,3 persen dari total realisasi investasi.
Dari negara -negara asing, Valdy menjelaskan bahwa sentimen itu masih berjuang dengan masalah tarif, termasuk AS yang mulai melunakkan Cina. AS terus berusaha untuk mendorong negosiasi dengan China, meskipun Cina belum membuka ruang negosiasi hingga saat ini.
Menteri Keuangan AS Scott Besent belum memberikan kejelasan tentang arah negosiasi perdagangan dengan China, meskipun ia mengatakan bahwa orang Cina harus mengambil inisiatif untuk meringankan ketegangan.
“China harus melakukan de-eskalasi, karena mereka menjual lima kali lebih banyak produk ke AS daripada sebaliknya. Tarif 120 persen hingga 145 persen tidak dapat bertahan lama,” kata Besent.
Menteri Keuangan Tiongkok Lan Fo'an mengatakan dia akan menerapkan kebijakan yang lebih proaktif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi global. Pernyataan ini membangun spekulasi negosiasi dengan AS.
Di sisi lain, ada potensi perjanjian perdagangan dari sejumlah negara yang bernegosiasi dengan AS. Tekanan dari dalam AS, terutama tekanan politik, memiliki potensi untuk mendorong Presiden AS Donald Trump untuk mendorong kesepakatan.